Sedikit Catatan tentang Persahabatan

Saya sedang senang dan menikmati bentuk - bentuk persahabatan di sekitar saya. Setidaknya saya amati ada berbagai macam bentuknya, bahkan mungkin hampir mendekati geng.

Ada yang seperti geng-nya Cinta di AADC, kemana-mana bersama, saling mendukung dan saling bersandar. Bahkan ada pula yang sampai susah dibedakan, ini sedang bekerja dan memposisikan diri sebagai rekan kerja, atau sedang memposisikan diri sebagai teman. Kenapa saya bilang jadi mirip geng? Karena sudah tidak dapat dibedakan lagi, ini sedang bekerja atau sedang bermain. Ketika teman se-geng salah, selemah-lemahnya iman, teman kerja lain yang diminta memahami.

Tidak ada yang salah dengan pertemanan, tentu saja itu mutlak. Tapi bisa saja ada yang salah dengan cara saya melihat, dan memahami. Karena saya punya pandangan yang berbeda dan saya punya nilai yang berbeda juga.

Saya bukan orang yang tak suka berteman. Tapi saya memang memilah betul, kapan saya bekerja dan kapan saya sedang bermain dengan teman-teman saya. Mungkin itu sebabnya, saya tak punya banyak teman yang benar-benar dekat dan tahu saya lebih dalam.

Saya senang bercanda dan ber haha hihi dengan teman, bahkan sahabat saya. Tapi pada saat yang sama, saya juga bisa sangat peka, jangan sampai haha hihi mengganggu kenyamanan orang lain.

Saya bisa pergi bersama-sama dengan banyak orang, dengan teman-teman dan sahabat saya, tapi saya tahu betul kapan saya harus menyisihkan waktu dengan sahabat saya, dan kapan saya harus membaur dengan teman-teman saya.

Saya bersahabat dengan beberapa orang teman, tapi persahabatan saya tidak menjadi tekanan bagi saya untuk melakukan hal yang sama, atau menjadi sama seperti yang sahabat saya lakukan.

Tidak Ada yang Kebetulan

Aku yakin pertemuan kita bukan kebetulan.
Sungguh aku percaya, Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuk kita,
dan aku yakin itu adalah rencana yang baik untuk kita.
Aku yakin pertemuan kita bukan kebetulan.

Kita Tidak Tahu bahwa Kita Tidak Tahu



Ada banyak hal yang kita tidak tahu. 
Ada banyak hal yang saya tidak tahu.
Ada banyak hal yang Anda tidak tahu.

Ketidaktahuan itu yang kemudian, seharusnya mendorong orang untuk mencari tahu, dan mungkin belajar untuk mengetahui.
Ketidaktahuan itu yang kemudian, seharusnya mendorong orang untuk menjadi rendah hati, bertanya.
Bertanya untuk tahu, perlu kerendahhatian, karena orang yang tinggi hati mengajukan pertanyaan untuk menguji, sedangkan orang yang rendah hati akan bertanya untuk memahami.

Bagaimana bisa kita menjadi sesombong itu, padahal ada banyak hal yang kita tidak tahu?
Bagaimana bisa kita menjadi semalas itu, padahal ada banyak hal yang kita tidak tahu?
Bagaimana bisa kita menjadi setidakpeduli itu, padahal ada banyak hal yang kita tidak tahu?
Bagaimana kita bisa sejahat itu, padahal ada banyak hal yang kita tidak tahu?
Bagaimana bisa kita punya prasangka seburuk itu, padahal ada banyak hal yang kita tidak tahu?
Bagaimana bisa kita sekeras itu, padahal ada banyak hal yang kita tidak tahu?
Bagaimana bisa kita memaksa seseorang sekeras itu, padahal ada banyak hal yang kita tidak tahu?

Tanpa kita sadari, ketidaktahuan membuat kita tidak lebih baik.
Dan yang lebih parah, kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu.


Hai, Bung!

Hai, Bung!
Semua di sekelilingku mengingatkanku padamu, Kau tahu?
Sedang apa Kau disana?

Hai, Bung!
Aku rindu obrolan kita,
Aku rindu cerita pembangkit semangat,
Aku rindu pernyataan pengusik pikir,
Aku rindu pertanyaan, "Kau yakin apa yang kamu pikirkan dan lakukan itu sudah benar benar benar?"
Aku rindu pertanyaan, "Kau yakin keberpihakan yang selama ini kau bangun dan perjuangkan sudah memberdayakan? Bukan justru memperdayai?"

Hai, Bung!
Semoga Kau bahagia di sana.


Ups!

Kupandangi wajah-wajah itu,
Mata merah, muka lelah, kuyu.
Baju putih itu telah lusuh,
Bercampur keringat dan debu.

Pertanyaan-pertanyaan menyerbu benakku,
Bagaimana perjuangan Tuan hari ini?
Apa hasil perjuangan Tuan hari ini?
Apa rencana Tuan selanjutnya?
Apakah Tuan sudah makan sejak tadi pagi?
Tahukah Tuan, setelah Tuan pulang, ada sekelompok orang berbaju oranye berdatangan?
Bukan, mereka bukan mau berjuang seperti Tuan. Mereka mau bersihkan sisa-sisa perjuangan Tuan. Bagaimana menurut Tuan?
Bagaimana perasaan Tuan seandainya Tuan tahu, ternyata ada kepentingan lain yang tersembunyi dari perjuangan Tuan, yang sebenarnya Tuan niatkan untuk membela keyakinan Tuan?
Apa yang akan Tuan lakukan, ketika ternyata Tuan mendapati orang yang mengajak Tuan berjuang, ternyata menerima sejumlah imbalan?
Bagaimana jadinya, ketika Tuan menyadari bahwa ternyata perjuangan ini berangkat dari kebencian, bukan untuk membela keyakinan Tuan?
Apa yang akan Tuan lakukan, ketika orang yang Tuan sebut sebagai penista, kemudian dijatuhi hukuman? Apakah Tuan merasa menang? Kenapa Tuan merasa menang? Tuan merasa menang atas apa?
Apa yang sebenarnya sedang ingin Tuan tunjukkan?

Kupandangi wajah-wajah itu,
Mata merah, muka lelah, kuyu.
Baju putih itu telah lusuh,
Bercampur keringat dan debu.

Aku ada di belakangmu, Tuan.
Mendengarmu bercengkerama dengan temanmu,
Yang terlihat ikut bahagia menyaksikan aksimu,
Berfoto bersama di depan barisan polisi wanita yang siap siaga bertugas.

Ups!

Bun, Bunda dimana?

18.12
Sebuah pesan suara via Whatsapp, masuk. Kulihat, oh..Pa'e yang mengirimkan pesan suaranya.

"Bun, Bunda dimana? Bunda lagi ngapain? Kok ditelpon ga diangkat-angkat?", terdengar nada cemas dari seorang anak.

Ouch..dia meneleponku tadi. Dua kali. 18.10.

Segera, kubalas pesan suara itu, "Aku sedang di kantor, Vier. Maaf ya, aku tidak mendengar teleponmu tadi, karena aku sedang di toilet. Ada apa?", tanyaku.

Lama. Aku menunggu balasan pesan suaraku.

Lama. Kupandangi layar. Berharap balasan, menanti pertanda.

Lama. Kuputuskan beranjak dari kursiku. Aku harus pulang sekarang!

Vier Bertanya : Ikan Asin Hidupnya Dimana?

Akhir - akhir ini Vier suka makan ikan asin. Kesukaannya pada ikan asin, tak lepas dari peran Nenek - mamaku - yang memperkenalkannya pada ikan asin. Vier suka ikan asin peda, yang sudah dibuang tulang dan kepalanya, digoreng dengan tepung. Jadi tinggal makan dagingnya saja.

Nenek punya cara khusus untuk membuat ikan asin peda goreng tepung kesukaan Vier. Nenek membungkus ikan asin itu dengan kertas koran, kemudian merendamnya sekitar 30 menit, untuk mengurangi rasa asin pada ikan asin. Setelahnya, baru tulang dan kepala ikan dibuang, dan dagingnya diguling-gulingkan ke campuran tepung beras dan terigu, dan langsung digoreng.

Pada suatu waktu, sambil menikmati ikan asin goreng tepungnya, Vier bertanya, "Bunda, ikan asin itu hidupnya dimana?". Alamaaaaaakk..pertanyaan ini sulllliiiiiittt dijawab. Apalagi oleh Bunda yang pengetahuannya lemah iniii. Hiks..hiks..

Aku berpikir keras, mencoba menemukan jawabnya. Kali ini aku tidak bisa mengandalkan Mbah Google untuk menjawab pertanyaan Vier. Sambil mencoba tetap terlihat tenang seperti saran yang kubaca di majalah tentang orang tua, aku balik tanya ke Vier, "Maksud Vier gimana? Ikan asin yang lagi Vier maem itu, hidupnya dimana?".

"Iyyaaa..ikan asin yang aku maem ini kan sudah mati. Naaa..pas dia masih hidup, dia hidupnya dimana?", sepertinya dia sudah mulai tak sabar.

"Owh..itttuuu..kalau ikan asin yang Vier maem itu kan ikan asin peda, dia pas masih hidup, tinggalnya di laut.", jawabku. Kurasa itu jawaban yang benar...ya..aku yakin itu jawaban yang benar (tapi jadi malah makin ragu kalau jawabanku benar).

"Pantes dia asin ya, Bunda..tinggalnya di laut siy", mukanya sangat yakin!!
Ia lanjutkan mengunyah ikan asin goreng tepungnya.
Lha!! Kok gitu ternyata urutan berpikirnya. Duh, Gusti, kula nyuwun ide!